Mentari.or.id- Mendudukkan Kitab dan Tradisi Intelektual. Dalam hiruk-pikuk peradaban modern, ketika arus informasi bergerak secepat kedipan mata, terdapat sebuah ritual purba yang tak lekang oleh zaman: membaca dan memiliki buku. Aktivitas ini bukan sekadar hobi atau pengisi waktu luang, melainkan sebuah tradisi pencerahan yang patut dijaga dan dilestarikan, terutama dalam konteks pergerakan Islam berkemajuan.
Bagi Muhammadiyah, yang sejak kelahirannya menempatkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber utama pencerahan dan gerakan pembaruan (tajdid), belanja buku seharusnya dipahami bukan sebagai konsumsi, melainkan sebagai investasi peradaban.
Melalui trilogi gerakan dakwah, pendidikan, dan kesehatan, Muhammadiyah sejatinya sedang membangun manusia paripurna yang siap menghadapi tantangan zaman. Pilar utama dari konstruksi tersebut adalah literasi kritis. Dalam konteks inilah, belanja buku menjadi pintu gerbang menuju penguatan literasi. Buku merupakan instrumentum necessarium, instrumen yang mutlak diperlukan untuk menerjemahkan nilai-nilai tauhid ke dalam amal usaha yang konkret dan mencerahkan.
Tajdid sebagai Imperatif Kolektif
Muhammadiyah didirikan di atas semangat tajdid, yakni pemurnian ajaran Islam dari unsur bid’ah, khurafat, dan takhayul (TBC), sekaligus pembaruan cara berpikir dan beramal agar senantiasa relevan dengan perkembangan zaman. Tajdid bukan pekerjaan parsial atau sporadis, melainkan imperatif kolektif yang menuntut ijtihad berkelanjutan.
Di sinilah peran sentral buku menjadi sangat penting. Dalam tradisi tajdid, belanja buku berarti:
- Akuisisi data ilmiah, yakni memperoleh pengetahuan mutakhir di bidang sains, sosial, dan humaniora sebagai basis ijtihad kontemporer.
- Dialog intelektual, yaitu berinteraksi dengan gagasan para pemikir, baik dari internal maupun eksternal Islam, guna menguji dan memperkaya kerangka pemikiran Muhammadiyah.
- Penajaman metodologi, berupa pendalaman metodologi istinbat dan manhaj yang sahih, termasuk pemikiran kritis dalam tafsir dan fikih kontemporer.
Tanpa tradisi pengadaan buku yang kuat, semangat tajdid berisiko mengalami stagnasi dan hanya menjadi pengulangan retoris tanpa fondasi ilmiah yang kokoh. Kondisi tersebut justru bertentangan dengan ruh pembaruan yang menjadi identitas Muhammadiyah.
Membaca: Dari Konsumsi Pasif ke Produksi Kreatif
Tradisi belanja buku tidak boleh berhenti pada tahap konsumsi pasif, apalagi sekadar menimbun koleksi sebagai ornamen intelektual. Dalam etos Muhammadiyah, membaca merupakan proses internalisasi nilai yang harus bermuara pada produksi kreatif berupa amal usaha.
Buku adalah benih, sedangkan akal adalah ladang. Pembaca pasif hanya memandang benih di dalam cangkangnya. Sebaliknya, pembaca berkemajuan adalah petani intelektual yang mengolah benak, menanam benih pengetahuan, menyiraminya dengan diskusi, hingga berbuah menjadi solusi bagi umat dan bangsa.
Proses transformasi ini setidaknya melalui tiga fase, yakni fase reseptif (membaca), fase kritis (menganalisis dan menyaring), serta fase produktif (mengimplementasikan gagasan dalam bentuk kebijakan, program, atau inovasi amal usaha).
Dengan demikian, setiap buku yang dibeli warga persyarikatan seharusnya memiliki nilai guna epistemik, yakni memperkuat tiga pilar pergerakan: Islam, ilmu, dan amal. Belanja buku merupakan pernyataan ideologis bahwa Muhammadiyah senantiasa terbuka menyerap ilmu dari mana pun datangnya, selama sejalan dengan nilai tauhid dan kemaslahatan universal.
Menguatkan Ekosistem Literasi
Menjadikan belanja buku sebagai tradisi juga memiliki implikasi sosial dan ekonomi yang penting. Ketika warga Muhammadiyah secara kolektif meningkatkan pembelian buku, mereka turut memperkuat ekosistem literasi nasional.
Dana yang dibelanjakan untuk buku menjadi energi bagi penulis, penerbit, dan toko buku, termasuk lembaga penerbitan yang berafiliasi dengan Persyarikatan. Hal ini menciptakan simbiosis mutualisme: penerbit memperoleh dukungan finansial, warga persyarikatan mendapat akses literatur yang terverifikasi secara manhaj, dan diskursus nasional diperkaya oleh kontribusi pemikiran Islam berkemajuan.
Oleh karena itu, kebijakan belanja buku perlu diposisikan sebagai strategi kebudayaan. Setiap majelis dan lembaga Muhammadiyah idealnya memiliki alokasi anggaran yang terencana untuk pengadaan buku, baik bagi perpustakaan formal maupun perpustakaan kerja penunjang riset dan pengambilan kebijakan.
Pendidikan Karakter dan Etos Intelektual
Pada tingkat individu dan keluarga, tradisi belanja buku merupakan bentuk pendidikan karakter yang sangat bernilai. Keluarga Muhammadiyah perlu menjadikan kunjungan ke toko buku atau pameran buku sebagai agenda rutin yang bermakna.
Belanja buku mengajarkan bahwa mencari ilmu lebih bernilai daripada sekadar konsumsi hiburan. Membaca bersama juga melatih budaya diskursus berbasis data dan rujukan, bukan emosi atau asumsi semata. Nilai ini menjadi benteng penting di tengah maraknya disinformasi dan budaya post-truth di era digital.
Buku adalah benteng terakhir rasionalitas. Keluarga yang mengabaikan tradisi literasi sesungguhnya membuka ruang bagi penetrasi pemikiran dangkal dan pragmatisme tanpa ruh keilmuan.
Akhirul Kalam: Buku sebagai Amal Saleh
Belanja buku, ketika diletakkan dalam kerangka tajdid dan amal saleh, bukan sekadar transaksi ekonomi, melainkan deklarasi ideologis seorang Muslim berkemajuan. Memilih buku serius dibandingkan gawai terbaru adalah bentuk hijrah kultural dari hedonisme menuju epistemologi.
Buku merupakan warisan terbaik, sarana dakwah paling efektif, sekaligus cerminan etika progresif: selalu ingin tahu, berkembang, dan memberi manfaat. Karena itu, mari menjadikan setiap pembelian buku sebagai tradisi kebajikan dan langkah strategis dalam jihad intelektual abad ke-21.
Belanjalah buku, bacalah buku, dan biarkan isinya menjelma menjadi gerakan pencerahan menuju terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Penulis: Ajun Pujang Anom (Anggota Majelis Dikdasmen dan PNF PDM Bojonegoro)





