Mentari.or.id- Bojonegoro, 29 November 2025. Alunan syahdu “Sang Surya” menggema di Stadion Letjen H. Soedirman Bojonegoro, menandai dimulainya perayaan Milad Muhammadiyah ke-113. Lagu itu tidak sekadar pengisi suasana ia seperti doa panjang yang mengangkat kembali ingatan kolektif tentang perjalanan panjang sebuah gerakan pembaruan.
Panggung besar dengan latar megah perayaan Milad tahun ini disaksikan ribuan warga Persyarikatan. Tema “Memajukan Kesejahteraan Bangsa” menggugah kembali akar tujuan berdirinya Muhammadiyah: gerakan yang lahir dari kegelisahan sosial, keberanian moral, dan tekad mencetak kemajuan yang nyata.
Namun di tengah kemegahan itu, ada ironi yang patut direnungkan. Akar rumput tempat di mana Muhammadiyah dulu bertumbuh kuat justru tampak semakin redup denyutnya. Gerakan yang dulunya hidup dari kerja nyata dan perubahan sosial sehari-hari kini mulai terjebak dalam simbolisme: unggahan media sosial, dokumentasi kamera, seragam rapi, dan jargon “berkemajuan” yang kadang hanya menggema tanpa daya dorong.
Kader-kader yang seharusnya menjadi motor, sebagian mulai teralihkan oleh rutinitas administratif yang kering makna. Amal usaha yang dulu menjadi pusat pemberdayaan kini, pada beberapa tempat, berubah menjadi sekadar objek kegiatan. Gerakan sosial muncul ketika perlu diabadikan, bukan ketika dibutuhkan masyarakat.
Perayaan Milad sejatinya bukan hanya panggung selebrasi, melainkan ruang refleksi. Angka 113 bukan sekadar usia, tetapi ukuran kematangan: seberapa kuat kita menjaga roh pembaruan? Seberapa jujur kita menilai kembali denyut ranting, cabang, dan basis komunitas yang menjadi nadi kehidupan Persyarikatan?
Di momen inilah Muhammadiyah harus kembali bertanya pada dirinya: apakah kita masih bergerak dengan energi tajdid seperti satu abad lalu? Ataukah kita mulai terlena dalam struktur yang megah, namun lupa pada gerakan kecil yang dahulu menjadi fondasi?
Sang Surya akan terus bersinar, tetapi sinarnya harus dipantulkan kembali oleh gerakan-gerakan kecil yang hidup di bawahnya di musala desa, kelompok pengajian ibu-ibu, bimbingan remaja, kelompok sosial pinggiran, dan ruang kemasyarakatan lain yang selama ini menjadi ladang dakwah nyata.
Harapan kita sederhana namun mendalam: agar Muhammadiyah tidak berhenti pada megahnya baliho, gemerlap panggung, atau luasnya jaringan amal usaha. Gerakan ini harus kembali menyala di ranting-ranting kecil, di wajah tulus para relawan, di langkah kader-kader muda yang bekerja dalam senyap, dan dalam keberanian moral untuk terus memperbaiki keadaan.
Itulah makna sejati Milad: bukan hanya merayakan usia, tetapi memastikan bahwa nyala gerakan akar rumput tetap hidup hangat, menyala, dan memberi manfaat bagi umat, bangsa, dan kemanusiaan.
Penulis: Nafisa (Anggota MPI PCM Sumberrejo)





