Kesunyian di Tengah Riuh Perayaan: Kontemplasi Soko Guru
Tatkala genderang Hari Guru Nasional ditiupkan, serentak kita disuguhkan simfoni puji-pujian atas dedikasi tanpa batas, laksana lentera yang membakar diri demi menerangi rimba kebodohan. Sang guru, acap kali diidealkan sebagai Soko Guru Bangsa, tiang penyangga peradaban, yang berdiri tegak di atas landasan nilai dan ilmu pengetahuan. Namun, di balik riuh rendah seremoni dan retorika luhur tersebut, tersimpan sebuah absurditas yang mengusik nalar: sebuah dualisme akut antara cita-cita peran yang diidealkan dengan realitas sistem yang mencekik.
Adalah sebuah keniscayaan untuk menggugat kredo ini—sebuah keyakinan kolektif—agar kita tak terjebak dalam romantisme usang. Gugatan ini bukan hendak meruntuhkan kehormatan guru, melainkan menelisik sejauh mana sistem pendidikan nasional telah menyediakan orkestra yang harmonis bagi sang dirigen peradaban. Sebab, dalam khazanah pendidikan kita, terbentang jurang yang semakin dalam antara tugas sebagai Pendidik dan fungsi sebagai Pengajar. Jurang inilah yang menjadi pangkal dari ironi pendidikan kita kekinian.
Dualitas Pendidik dan Pengajar: Ironi di Ruang Kelas
Perbedaan antara Pendidik dan Pengajar bukanlah sekadar permainan leksikal, melainkan merupakan pemisahan tugas esensial yang secara fundamental memengaruhi kualitas output generasi.
Pengajar (Guru sebagai Transmitter of Knowledge) memiliki ranah tugas yang terukur dan terdefinisikan secara prosedural: menyampaikan kurikulum, mengukur capaian kognitif, serta memastikan siswa menguasai materi ajar (keterampilan dan pengetahuan). Fungsi ini berpusat pada intelek dan seringkali terperangkap dalam tuntutan administratif dan skor ujian.
Sebaliknya, Pendidik (Guru sebagai Cultivator of Character) bergerak di wilayah yang lebih subtil dan mendalam, yakni ranah afektif dan psikomotorik. Pendidik bertugas menanamkan akhlak, moral, etika, dan nilai-nilai luhur yang bersifat abadi (everlasting values). Pendidik adalah teladan (uswatun hasanah), pembimbing jiwa, dan arsitek kepribadian. Keberhasilan Pendidik tidak diukur oleh nilai rapor, melainkan oleh integritas dan kematangan karakter siswa di tengah pergolakan zaman.
Ironi muncul ketika sistem, yang didorong oleh hasrat serba terukur (measurable) dan terstandarisasi, secara masif mereduksi peran Pendidik menjadi sekadar Pengajar. Guru dipaksa tenggelam dalam lautan administrasi, dikejar target kelulusan, dan diukur melalui capaian kognitif semata. Waktu dan energi yang seharusnya digunakan untuk pembentukan karakter (Pendidik) kini terkuras habis untuk pengisian berkas dan persiapan ujian (Pengajar).
Inilah absurditas dalam simfoni pendidikan: kita merayakan guru sebagai pembentuk karakter, namun kita menuntutnya untuk menjadi operator kurikulum. Kita menginginkan generasi berakhlak mulia, tetapi kita menilai keberhasilan guru berdasarkan kemampuan siswa menjawab soal pilihan ganda. Di titik inilah, Soko Guru Bangsa terasa rapuh; ia dipaksa memikul beban peradaban dengan kaki yang terikat tali birokrasi.
Dogma Muhammadiyah: Manifestasi Pendidik yang Teguh
Di tengah pusaran ironi sistemik ini, kehadiran institusi pendidikan yang secara ideologis berpegangan pada peran Pendidik menjadi sangat relevan. Organisasi Muhammadiyah, melalui amal usaha pendidikannya yang masif dan tersebar, sejak awal telah mewujudkan idealisme seorang Pendidik sejati.
Guru Muhammadiyah tidak sekadar menjalankan fungsi pengajaran, melainkan mewakili sebuah gerakan pencerahan yang menyatukan ilmu pengetahuan umum dan nilai-nilai keislaman yang murni. Posisi Guru Muhammadiyah dalam lingkup pendidikan di Indonesia kekinian dapat ditinjau melalui tiga poros utama:
1. Integrasi Holistik (Ilmu dan Akhlak)
Muhammadiyah sejak KH. Ahmad Dahlan telah mendobrak dikotomi pendidikan sekuler dan pesantren. Sekolah-sekolah Muhammadiyah menyajikan kurikulum yang menggabungkan sains modern dengan mata pelajaran Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK). Hal ini memastikan bahwa guru tidak hanya menjadi pengajar ilmu, tetapi juga pendidik ideologi dan moral.
Guru Muhammadiyah dituntut menjadi teladan (uswatun hasanah), mengimplementasikan nilai-nilai Islam Berkemajuan yang moderat, rasional, dan inklusif. Mereka adalah garda terdepan yang mempersiapkan manusia untuk memecahkan problem kehidupan di dunia nyata (mu’amalah duniawiyah) tanpa meninggalkan akarnya pada tauhid dan etika Islam. Ini adalah antitesis terhadap sistem yang hanya fokus pada aspek kognitif.
2. Pilar Alternatif di Tengah Dominasi Negara
Secara historis dan sosiologis, institusi pendidikan Muhammadiyah seringkali menjadi pilar alternatif yang menjangkau daerah-daerah terpencil yang belum terjamah oleh sekolah negeri. Mereka berperan sebagai mitra strategis negara dalam menyebarluaskan akses pendidikan.
Dalam konteks kekinian, ketika regulasi dan kurikulum pemerintah menjadi semakin dominan, sekolah Muhammadiyah mempertahankan identitas objektifnya, yakni sebagai sekolah plus agama. Guru di sini harus mampu menavigasi tuntutan kurikulum nasional sambil tetap menjadi penjaga ideologi pencerahan. Tantangan mereka adalah menjaga kualitas dan keunggulan agar tetap relevan di mata masyarakat yang semakin pragmatis, seraya memastikan nilai-nilai soft skill (seperti kepemimpinan, gotong royong, dan keadilan sosial) tetap tertanam kuat.
3. Konsistensi dalam Misi Pembaharuan
Jati diri Guru Muhammadiyah tidak lepas dari semangat tajdid (pembaharuan). Ini berarti mereka harus menjadi guru yang berkemajuan—yaitu sosok yang bersemangat belajar sepanjang hayat (long life learner), adaptif terhadap teknologi, dan kreatif dalam metodologi pengajaran.
Saat ini, tantangan globalisasi dan disrupsi informasi menuntut guru untuk tidak hanya menyalurkan konten, tetapi juga mengajarkan literasi digital dan critical thinking. Guru Muhammadiyah harus mampu membimbing peserta didik untuk memilah informasi dan menggunakan akal sehat berdasarkan kerangka etika Islam. Inilah peran Pendidik yang paling krusial di era digital, di mana kebenaran kognitif begitu melimpah, namun kebijaksanaan moral semakin langka.
Absurditas yang Harus Ditaklukkan: Jalan Menuju Harmoni
Simfoni pendidikan nasional hanya akan mencapai harmoni jika absurditas reduksi peran guru ini dapat ditaklukkan. Untuk kembali memuliakan peran Pendidik, bukan hanya sekadar Pengajar, diperlukan perubahan mendasar, yang mencakup:
- Redefinisi Kesejahteraan Guru: Kesejahteraan harus dimaknai secara holistik, mencakup insentif finansial yang layak agar guru dapat fokus pada tugas esensialnya, bukan pada urusan mencari penghasilan tambahan.
- Dekonstruksi Birokrasi Kurikulum: Mengurangi beban administratif dan dokumen yang tidak relevan. Memberi otonomi pedagogis yang lebih besar kepada guru untuk melakukan inovasi dalam pembentukan karakter.
- Penguatan Pendidikan Profesi: Pelatihan guru harus bergeser dari fokus teknis pengajaran (Pengajar) menjadi penguatan kapasitas moral dan kepemimpinan (Pendidik). Pendidikan harus kembali menekankan peran guru sebagai Uswatun Hasanah.
Guru Muhammadiyah, dengan latar belakang ideologis yang kuat dalam mengintegrasikan ilmu dan iman, dapat menjadi laboratorium percontohan idealisme peran Pendidik sejati bagi pendidikan nasional. Mereka telah membuktikan bahwa dedikasi tidak harus dipertentangkan dengan profesionalisme, dan bahwa ilmu pengetahuan dapat bersanding mesra dengan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Akhirul Kalam: Merajut Kembali Soko Guru yang Sejati
Pada akhirnya, gugatan terhadap kredo Soko Guru Bangsa ini adalah panggilan untuk sebuah rekonsiliasi peran. Pendidikan bukanlah pabrik yang menghasilkan output terstandar, melainkan kebun kearifan yang menumbuhkan jiwa-jiwa berkarakter.
Jika kita ingin guru kembali menjadi Soko Guru Bangsa yang sejati, kita harus membebaskannya dari belenggu absurbitas sistem. Kita harus memberikan ruang, waktu, dan penghargaan yang layak, agar mereka dapat menunaikan tugas mulia sebagai Pendidik—mereka yang menularkan tidak hanya ilmu, tetapi juga cahaya jiwa yang membentuk peradaban.
Hanya dengan demikian, simfoni pendidikan nasional akan benar-benar merdu, mengumandangkan harmoni antara kecerdasan kognitif dan kedalaman moral.
Bojonegoro, 24 November 2025
Penulis: Ajun Pujang Anom (Penulis merupakan anggota Majelis Dikdasmen dan PNF PDM Bojonegoro)





