Menyambut Ramadan, Menyambut Keniscayaan
Mentari.or.id-Yang membedakan waktu, bulan, dan tahun bukan jumlah angka dan namanya melainkan peristiwa yang mampu dimaknai oleh manusia, kata seseorang di pojok perpustakaan tua. Begitulah cara melihat estetika hidup yang Tuhan berikan kepada kita, peristiwa puasa adalah peristiwa yang sengaja Tuhan tetapkan agar manusia kembali berlatih, dan belajar memaknai bahwa mengendalikan diri adalah salah satu jalan menuju ketenangan hati.
Ramadan, kembali hadir menyapa semuanya, membawa serta atmosfer spiritual yang khas. Bagi umat Muslim, bulan ramadan bukan sekadar tentang menahan lapar dan dahaga, tetapi juga tentang intropeksi, pembersihan diri, dan peningkatan kualitas spiritual untuk meningkatkan kualitas diri seseorang dan masyarakatnya. Di tengah ingar-bingar kehidupan yang terus berubah, Ramadan hadir sebagai pengingat akan keniscayaan: bahwa kita adalah makhluk yang lemah, yang membutuhkan pertolongan dan petunjuk dari Sang Pencipta.
Sebagai menusia kita memiliki berbagai keniscayaan dalam hidup, dalam tulisan ini saya akan memberikan tiga contoh keniscayaan yang seseorang tidak bisa menolaknya. Keniscayaan yang pertama adalah kelemahan manusia, kedua keterbatasan waktu dan yang ketiga adalah ketergantungan.
Kelemahan manusia
Puasa Ramadan semakin mengajarkan kita tentang kelemahan manusia. Tanpa makanan dan minuman, kita merasakan lapar dan dahaga. Dari hal tersebut kita menyadari bahwa kita tidak memiliki kendali penuh atas diri kita. Rasa lapar dan dahaga mengingatkan kita akan ketergantungan kita pada Sang Maha Pemberi Rezeki. Kesadaran akan kelemahan ini seharusnya membuat kita lebih rendah hati dan bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan.
Keterbatasan waktu
Setelah mengerti betapa lemahnya kita sebagai manusia, bulan ramadan juga mengingatkan lebih dalam tentang keterbatasan waktu. kenapa? Karena bulan ramadan hanya berlangsung selama sebulan saja, dan setiap waktu yang kita lewati bermakna atau tidak tergantung cara kita menyambutnya. Dengan keterbatasan waktu ini kita memiliki kesempatan berjuang untuk kembali ditempa. Setelah mengerti keterbatasan waktu di bulan ramadan ini seharusnya membuat kita lebih bijak dalam mengelola hidup dan tidak menyia-nyiakan kesempatan yang telah Tuhan berikan.
Ketergantungan manusia
Ketergantungan kita sebagai menusia terhadap sumber primer ataupun skunder tantang kebutuhan hidup, sesama manusia dan bahkan pada ilmu pengetahuan membuat kita semakin yakin bahwa pemujaan terhadap akal manusia yang seringkali dilebih-lebihkan, adalah sesuatu kesombongan yang tidak berdasar. Karena Tuhan tidak membuat kita tidak terbatas. Dalam bulan ramadan kita tentu akan banyak menjumpai bahwa sebetulnya kita memang bergantung pada banyak hal. Waktu yang tepat untuk intropeksi diri bahwa manusia tidaklah superior seperti yang dibanyangkan.
Menyambut ramadan, menyambut keniscayaan.
Setelah kita benar-benar menjalani ramadan, keniscayaan yang seharusnya terlahir adalah kebijaksanaan dalam menjalani hidup, mampu untuk mencegah atau mengendalikan segala sesuatu yang berpotensi tidak baik, dan mengembalikan proporsi hidup seseorang pada hakikatnya sebagai manusia. Menyambut ramadan artinya kita menyambut kembali diri kita yang seharusnya, kenapa? Karena bulan ramadan adalah bulan untuk menyambut keniscayaan dalam hidup. Manusia memang memiliki keterbatasan, kelemahan dan ketergantungan, yang kemudian hal itu diperjelas oleh hadirnya bulan ramadan. Tetapi menusia dibekali akal untuk menyambut keduanya agar tersirat makna dalam kalender kehidupan.
Penulis: Fahrul Isna Arsyada (Kolumnis)